Senin, 26 Maret 2012

Part 1: Mencari Manusia


Hari ini aku sedang menjalankan misi besar. Mencari sesuatu yang benar-benar esensial di bumi ini. “Apa yang sedang kau cari?”, sisi meraguku mulai bertanya. Sempat goyah tapi kemudian aku tertawa.  “Aku sedang mencari manusia. Bodoh. Masakan hal begini saja tidak tahu. Apalagi yang lebih esensial di bumi ini selain manusia.”
Aku kembali melangkah percaya. Namun bukan si meragu kalau tak banyak bertanya. “Mengapa harus manusia”. Berhenti dan mulai goyah lagi. Tapi kemudian cengiran itu kembali. “Bodoh. Mengapa masih bertanya. Apalagi yang lebih esensial di bumi ini selain manusia. Bukankah Tuhan pun menunjukkan pertandaNya. Dia ciptakan manusia sebagai sempurna diantara makhluk lainnya. Dia dapat berkarsa, berkarya, dan berasa. Sungguh hal aneh jika kau terus bertanya”. Cengiranku semakin lebar karena merasa aku sudah menang dengan jawaban yang kulontarkan.
Aku melangkah… melangkah… melangkah… dan si meragu tak lagi bertanya, atau jangan-jangan dia sedang bersiaga dengan pertanyaan selanjutnya. Aku mulai meragu. Berhenti sebentar dan dengan seksama mendengarkan, siapa tahu si meragu sedang kasak kusuk dengan pertanyaan rahasianya. Tak ada suara. Hanya suara pertanyaanku sendiri, “Mengapa si meragu tak bertanya?”. Aku tak peduli lagi. Telah kupastikan si meragu telah menyerah. Aku melangkah… melangkah… dan melangkah. Aku mulai memberi titah kepada kaki untuk terus melangkah, yah melangkah mencari manusia.
Aku melangkah… melangkah… dan melangkah. Tapi akhirnya aku tak tahan juga. Aku kelelahan dengan sunyi tanpa meragu. Aku berhenti. Lama… aku berhenti. Mendengarkan sunyi. Mendengarkan keherananku sendiri. Lalu tak tahan lagi maka aku usik sunyi si meragu, “Kenapa kau tak lagi bertanya, hai, meragu?”. Tidak ada jawaban. Lama… aku mulai jengah. “Hai meragu, mengapa kau tak bertanya lagi? Apakah kau sudah bukan lagi meragu?”. Terdengar cekikikan melecehkan. Ada sedikit lega. Itu cekikian si meragu. “Kenapa kau malah cekikikan seperti itu? Kiranya kau kini berubah menjadi si periang.” Tanyaku. Sunyi… sunyi… sunyi. Sampai akhirnya setelah kesunyian benar-benar membelenggu, dia menjawab, “Meragu selamanya akan menjadi meragu selama tetap ada rasa ragu. Aku diam bukan berarti tak meragu. Aku tak bertanya bukan berarti tak meragu. Aku hanya berubah keraguan.” Congkak sekali ia, pikirku. “Apa maksudmu? Aku tak mengerti.” Aku mulai muak dengannya.
“Aku hanya meragu, apakah yang kau cari akan kau temukan? Apakah memang akan kau temukan seorang manusia? Akan kau cari dimana, hei, bodoh?”.
“Kenapa kau tanyakan seperti itu?”
“Begini, jika memang kau mencari manusia, pastilah kau sudah kenal dengan manusia. Seperti apa manusia itu. Kiranya kau bersedia memberitahuku, seperti apa ciri-ciri manusia itu?”
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
(aku diam… diam… bertanya pada diriku, “apakah aku sudah belajar tentang manusia?”)