Hari ini aku sedang menjalankan misi
besar. Mencari sesuatu yang benar-benar esensial di bumi ini. “Apa yang sedang
kau cari?”, sisi meraguku mulai bertanya. Sempat goyah tapi kemudian aku
tertawa. “Aku sedang mencari manusia.
Bodoh. Masakan hal begini saja tidak tahu. Apalagi yang lebih esensial di bumi
ini selain manusia.”
Aku kembali melangkah percaya. Namun
bukan si meragu kalau tak banyak bertanya. “Mengapa harus manusia”. Berhenti
dan mulai goyah lagi. Tapi kemudian cengiran itu kembali. “Bodoh. Mengapa masih
bertanya. Apalagi yang lebih esensial di bumi ini selain manusia. Bukankah
Tuhan pun menunjukkan pertandaNya. Dia ciptakan manusia sebagai sempurna
diantara makhluk lainnya. Dia dapat berkarsa, berkarya, dan berasa. Sungguh hal
aneh jika kau terus bertanya”. Cengiranku semakin lebar karena merasa aku sudah
menang dengan jawaban yang kulontarkan.
Aku melangkah… melangkah… melangkah…
dan si meragu tak lagi bertanya, atau jangan-jangan dia sedang bersiaga dengan
pertanyaan selanjutnya. Aku mulai meragu. Berhenti sebentar dan dengan seksama
mendengarkan, siapa tahu si meragu sedang kasak kusuk dengan pertanyaan
rahasianya. Tak ada suara. Hanya suara pertanyaanku sendiri, “Mengapa si meragu
tak bertanya?”. Aku tak peduli lagi. Telah kupastikan si meragu telah menyerah.
Aku melangkah… melangkah… dan melangkah. Aku mulai memberi titah kepada kaki
untuk terus melangkah, yah melangkah mencari manusia.
Aku melangkah… melangkah… dan
melangkah. Tapi akhirnya aku tak tahan juga. Aku kelelahan dengan sunyi tanpa meragu.
Aku berhenti. Lama… aku berhenti. Mendengarkan sunyi. Mendengarkan keherananku
sendiri. Lalu tak tahan lagi maka aku usik sunyi si meragu, “Kenapa kau tak
lagi bertanya, hai, meragu?”. Tidak ada jawaban. Lama… aku mulai jengah. “Hai
meragu, mengapa kau tak bertanya lagi? Apakah kau sudah bukan lagi meragu?”.
Terdengar cekikikan melecehkan. Ada sedikit lega. Itu cekikian si meragu.
“Kenapa kau malah cekikikan seperti itu? Kiranya kau kini berubah menjadi si
periang.” Tanyaku. Sunyi… sunyi… sunyi. Sampai akhirnya setelah kesunyian
benar-benar membelenggu, dia menjawab, “Meragu selamanya akan menjadi meragu
selama tetap ada rasa ragu. Aku diam bukan berarti tak meragu. Aku tak bertanya
bukan berarti tak meragu. Aku hanya berubah keraguan.” Congkak sekali ia, pikirku. “Apa maksudmu? Aku tak mengerti.” Aku
mulai muak dengannya.
“Aku hanya meragu, apakah yang kau
cari akan kau temukan? Apakah memang akan kau temukan seorang manusia? Akan kau
cari dimana, hei, bodoh?”.
“Kenapa kau tanyakan seperti itu?”
“Begini, jika memang kau mencari
manusia, pastilah kau sudah kenal dengan manusia. Seperti apa manusia itu.
Kiranya kau bersedia memberitahuku, seperti apa ciri-ciri manusia itu?”
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
(aku diam… diam… bertanya pada
diriku, “apakah aku sudah belajar tentang manusia?”)