Kamis, 24 Mei 2012

catatan senja


Beberapa tahun aku tinggal dengannya. Perempuan di sampingku ini. Aku suka… dia tak pernah mengeluh…

Kami tinggal di pinggir jalan yang lengang. Kami suka kedamaian. Kami menikmati hidup tanpa banyak alasan. Tanpa banyak keluhan. Hmmm… keluhan, aku sudah lama lupa. Aku belajar darinya. Perempuan spesialku ini. Sampai masa rentaku ini, aku hanya bisa memberikannya sederet tembok dan sebuah terpal. Yah… se-deret, karena tembok yang memang hanya sederet inilah yang menjadi tanda rumah kami. Tembok yang sebenarnya tak pernah kami miliki.

Tembok ini adalah tembok rumah orang. Kami hanya menumpang untuk sekedar basa basi menjadikannya tanda. Atap kami hanyalah terpal biru yang sudah mulai kusut dan usang ini. Entahlah nanti kalau hujan, apakah masih bisa melindungi kami. Sebenarnya terpal dan sederet tembok ini memang tak pernah benar-benar melindungi kami. Kami selalu kedinginan. Tapi, darinya, dari perempuanku ini, aku belajar tak mengeluh. kami tetap menikmati rumah kami. Tetap menikmati amben tempat tidur kami. Tetap menikmati makanan yang diolah olehnya di dapur kami. Dapur yang langsung menyatu dengan kamar tidur.

Rumah kami spesial. Rumah kami tak memiliki sekat. Rumah kami tak memiliki ruang. Rumah kami tak seperti rumah kalian. Semua hal dari rumah kami mengusung konsep “satu”. Ruangan rumah ini hanya satu. Hanya ada satu ruang untuk amben tidur dan dapur. Kami bahkan tak punya ruang tamu. Dan dia… perempuanku ini, tak pernah mengeluh.

Kami makan, tidur, dan menikmati jalanan lengang kami bersama-sama. Masa tua kami mungkin terlalu sederhana, tapi kami menikmatinya. Senja kami terasa berbeda, karena kami lupa cara mengeluhkannya.

Hey, perempuanku… aku belajar ini semua darimu…

(hanya sebuah fiksi untuk menguji diri. inspired by: kakek nenek, belakang smasa pas, Jl. Belitung)