Beberapa tahun aku tinggal dengannya. Perempuan di sampingku ini. Aku suka…
dia tak pernah mengeluh…
Kami tinggal di pinggir jalan yang
lengang. Kami suka kedamaian. Kami menikmati hidup tanpa banyak alasan. Tanpa banyak
keluhan. Hmmm… keluhan, aku sudah lama lupa. Aku belajar darinya. Perempuan spesialku
ini. Sampai masa rentaku ini, aku hanya bisa memberikannya sederet tembok dan
sebuah terpal. Yah… se-deret, karena tembok yang memang hanya sederet inilah
yang menjadi tanda rumah kami. Tembok yang sebenarnya tak pernah kami miliki.
Tembok ini adalah tembok rumah
orang. Kami hanya menumpang untuk sekedar basa basi menjadikannya tanda. Atap kami
hanyalah terpal biru yang sudah mulai kusut dan usang ini. Entahlah nanti kalau
hujan, apakah masih bisa melindungi kami. Sebenarnya terpal dan sederet tembok ini
memang tak pernah benar-benar melindungi kami. Kami selalu kedinginan. Tapi,
darinya, dari perempuanku ini, aku belajar tak mengeluh. kami tetap menikmati
rumah kami. Tetap menikmati amben tempat tidur kami. Tetap menikmati makanan
yang diolah olehnya di dapur kami. Dapur yang langsung menyatu dengan kamar
tidur.
Rumah kami spesial. Rumah kami tak
memiliki sekat. Rumah kami tak memiliki ruang. Rumah kami tak seperti rumah
kalian. Semua hal dari rumah kami mengusung konsep “satu”. Ruangan rumah ini
hanya satu. Hanya ada satu ruang untuk amben tidur dan dapur. Kami bahkan tak
punya ruang tamu. Dan dia… perempuanku ini, tak pernah mengeluh.
Kami makan, tidur, dan menikmati
jalanan lengang kami bersama-sama. Masa tua kami mungkin terlalu sederhana, tapi
kami menikmatinya. Senja kami terasa berbeda, karena kami lupa cara
mengeluhkannya.
Hey, perempuanku… aku belajar ini
semua darimu…
(hanya sebuah fiksi untuk menguji
diri. inspired by: kakek nenek, belakang smasa pas, Jl. Belitung)
He jajan neng bannermu iku opo jenenge? icip2 neng kemantenan wingi jadi ketagihan :D
BalasHapushahaha,, nek jare ibuku jenenge matari.. soale bentuke kyk matahari,, iku jajan senengane ibuku mangkane tak pajang :D
BalasHapus