Selasa, 11 Mei 2010
Aku Rindu Ibu...
Hari ini aku rindu Ibu. Akhir-akhir ini kedekatanku dengan ibu, membuatku mudah rindu padanya. Di usiaku yang sekarang ini, hah... kurang 4 bulan lagi aku akan berusia 22 tahun, aku semakin dekat dengan Ibu. Aku menjadi lebih senang beraktivitas dengannya, dibandingkan sebelum aku memasuki usia 20 tahunan. Dulu aku adalah si anak jalanan, si anak yang jarang sekali ada di rumah. Sekolah, organisasi, main dengan teman-teman adalah rutinitas disekelilingku. Bahkan pada waktu hari libur pun aku tak punya waktu untuk di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktuku di luaran, malah tak jarang sampai tak pulang.
Mungkin sekarang aku sudah bosan. It’s time to come back home... n come to mama, beib...
Ibu... aku suka sekali bikin corat-coret, tapi aku tak pernah membuatnya untukmu. Terlalu sulit mendefinisikan dirimu. Terlalu rumit menceritakan dirimu, karena aku tak pernah benar-benar mengenalmu, durhakakah aku?
Sekarang aku ingin mengenalmu, lebih dekat denganmu. Kau telah mengenalku, memahamiku, merasai setiap nafasku dalam detikmu. Aku adalah bongkahan daging dan paruhan darahmu, karena itu kau selalu tahu siapa aku. Kau adalah ibu kandungku, dan aku harus mengetahui siapa dirimu. Hmmm... alangkah tak adilnya jika aku sampai tak mengetahui siapa orang yang telah membagikan serpihan jiwanya untukku.
Ibu, hari ini aku ingin pulang. Aku selalu berharap dapat tidur di pangkuanmu seperti ketika aku kecil dulu, sebelum aku mulai menginjakkan kakiku dalam dunia yang membelengguku, dunia sekolah. Yah... aku merasa jauh darimu semenjak aku masuk ke penjara itu. Aku mulai asik dengan diriku sendiri, membuat jarak yang nyata-nyata telah ada. Aku tidak hanya membuat jarak, namun menambah jarak yang telah ada.
Seseorang bilang padaku, ini akan membuatku mandiri. Aku memang akhirnya mandiri, tapi tak pernah bisa mengelak dari rasa sepi. Aku kesepian, bu. Kesepian dengan waktuku, dengan teman-temanku, dengan kegiatan-kegiatanku yang selalu kubanggakan di depanmu. Aku puas setiap kali melihatmu tersenyum mendengar semua ketangguhanku, ketangguhan yang sengaja kucipta untuk menutupi kerapuhanku. Aku hanya ingin menutupi bahwa aku sebenarnya ingin selalu di dekatmu, bermanja-manja denganmu, dan aku tak lagi menjadi si tangguh yang angkuh.
Tapi, bu, aku sudah terbiasa tidak berada di dekatmu. Ketika denganmu pun aku tak mampu menunjukkan semua inginku. Aku tetap si angkuh kebanggaanmu, yang meskipun sering menyakitimu tetap kau gembar-gemborkan sebagai anak yang baik.
Bu, aku sayang kamu meski aku tahu, aku takkan pernah dapat mengalahkanmu dalam lomba kasih sayang ini.
Hope Allah always bless you, Mom. (Malang, 10 Mei 2010)
Kisah Seorang Kenek Bus
Ketika kecil, seperti kebanyakan anak perempuan lain, aku selalu membayangkan akan menjadi seorang Putri ketika dewasa. Ya, seorang Putri dengan Pangeran berkuda putih yang akan datang menjemput dan membawanya ke Istana. Lalu aku akan hidup bahagia selamanya.
Impian itu memberiku gambaran yang utuh tentang sebuah istana. Dimana-mana yang kulihat adalah bunga-bunga beraneka warna mengelilingiku. Aku berlari ke sana ke mari, memakan segala jenis makanan yang aku inginkan. Bajuku terbuat dari sutra, ranjang tidurku besar dan bertahtakan emas. Kasurnya empuk sehingga jika aku melompat aku akan serasa melayang di udara. Istana yang megah dan aku penuh dengan kemanjaan di dalamnya.Ya, sebuah Istana untuk Putri dan Pangerannya.
Namun apa boleh buat, impian mungkin hanya sekedar impian. Nasib berkata lain. Aku mendapatkan Istana dalam rupa yang lain. Bukan bunga beranekawarna hiasinya, tetapi debu buangan knalpot bus tua. Sekarang aku hanyalah seorang kenek bus kota. Jalanan adalah rumah keduaku. Para sopir adalah partner kerjaku. Dan dimana-mana yang kulihat hanyalah asap kendaraan-kendaraan reyot penghias pagi jalanan, dan para penumpang yang tak jarang mengusik kesabaranku.
Banyak sekali hal yang aku alami selama berada dalam “kantor kerjaku” ini. Aku sering sekali mengalami sakitnya disodok rusuk kiriku ketika para penumpang mulai berdesak-desakkan dalam bus. Sering sekali dimarahi mandor karena uang setoran kurang, dan sekali lagi akibat dari para penumpang yang usil yang tidak membayar uang bus mereka. Belum lagi sakitnya lenganku ketika aku bergelayutan di pintu bus untuk mencari penumpang. Namun itu semua belum berarti apa-apa jika dibandingkan oleh tatapan sinis dan cemoohan yang keluar dari bibir nyinyir manusia-manusia usil yang mengomentari pekerjaanku.
Baiklah, Kawan, aku memang seorang perempuan. Tapi aku tetap manusia seperti kalian. Aku juga bisa mengisi perutku sendiri dengan hasil perjuanganku di jalanan. Mungkin terlihat aneh buat kalian. Seorang perempuan di jalanan berteriak-teriak lantang mencari penumpang. Bergelayut liar di pintu bus mencari penumpang. Dan menerobos ke sana- kemari untuk mengambil uang pembayaran. Ya, ini semua kulakukan untuk sebuah kehidupan. Bukan sekedar kehidupan seorang perempuan, tapi tiga orang perempuan. Aku dan kedua putriku.
Aku seorang janda beranak dua. Suamiku telah lama menghilang. Menghilang dalam arti sebenarnya karena dua tahun lalu dia meninggalkanku dan kedua anakku tanpa pesan. Dia tiba-tiba raib dalam kehidupan. Sejak saat itu pulalah, aku tahu bahwa aku tak mungkin bisa mengandalkan siapa-siapa untuk hidupku. Hanya aku yang mampu mengisi kelanjutan cerita hidupku. Aku sang hakim dalam pengambilan keputusan hidupku.
Dua orang putriku masih duduk di bangku sekolah dasar. Terakhir kuingat mereka menuliskan angka 2 dan 3 pada tulisan kelas di sampul cokelat buku mereka. Mereka dua orang putri yang manis. Aku kira, Tuhan sengaja memberi mereka untuk penghibur hatiku. Mereka benar-benar dua orang putri yang penurut, tak pernah membuatku kesal. Dengan rambut berkepang dua, mereka menembus cakrawala pagi menuju gerbang sekolah. Mereka tidak pernah mengeluh dengan alas kaki mereka, dengan tas sekolah mereka, dan dengan seragam yang mereka kenakan, yang kesemuanya mungkin bisa dibilang sudah tidak layak pakai. Mereka tidak pernah menceritakan cacian-cacian yang mereka terima di sekolahnya, mereka tidak pernah mengeluh betapa kesulitannya mereka belajar tanpa buku pendamping. Mereka memang anak yang manis. Aku hanya sesekali menerima keluhan dari mereka yaitu ketika aku memaksa pergi bekerja dalam keadaan sakit. Kawan, mereka benar-benar Kartini-kartini kecilku.
Aku tidak peduli lagi akan anggapan yang ada di negeriku ini yang menganggap perempuan seharusnya tidak ada di jalanan. Aku sudah lama melupakan akan perbedaan gender dan peranannya di negeriku ini, perempuan lebih baik di rumah biarlah lelaki yang mencari nafkah. Entahlah berasal dari mana kata-kata itu, aku tak mau ambil pusing.Yang kutahu adalah bagaimana caranya bertahan hidup dan mempertahankan hidupku beserta dua orang putriku. Biarlah aku menggelandang di jalanan asal anakku masih bisa menikmati hak-hak mereka di dunia. Aku ingin melihat mereka bias menikmati pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Aku sering membayangkan mereka memakai jas kebanggaan kampus mereka dan ikut berteriak-teriak di jalanan menyuarakan kebenaran. Bukan dengan cara anarkis seperti yang banyak kulihat sekarang. Mereka akan menyuarakan kebenaran mereka dengan indah. Dengan sajak-sajak yang akan mereka buat. Sajak-sajak tentang arti kebenaran dalam kehidupan yang kurasa sudah mulai pudar. Sungguh indah benar, sampai takkan ada hati yang tak tergerak olehnya. Perasaan malu akan muncul ketika mendengarnya dan topeng-topeng kebusukan enyah dengan sendirinya.
Tapi, itu hanyalah anganku. Terserah kedua putriku saja nantinya. Biar mereka pilih jalan mereka sendiri. Aku hanya memberi ide, biar mereka yang menentukan. Aku tidak akan turut campur.
Namun yang jelas putriku harus terhindar dari kebodohan. Karena aku merasa, kebodohanlah awal dari bobroknya moral. Mereka harus menjadi manusia-manusia bermoral. Mungkin bagimu, Kawan, terasa aneh mendengar manusia seperti aku berbicara moral. Aku memang tidak begitu tahu tentang apa itu moral, tapi kehidupan jalanan memberiku sedikit gambaran tentang apa itu moral. Moral adalah kejujuran, moral adalah adanya rasa malu untuk merebut hak orang lain.
Aku jadi teringat akan kisah seorang pengamen jalanan yang kebetulan waktu itu sedang mengamen di busku. Suaranya yang cempreng berusaha menyanyikan lagu salah satu band ternama di negeri ini. Setelah menyanyi dia mulai meminta receh kepada para penumpang dermawan yang mau berbagi dengannya. Peluh membasahi tubuh kerempengnya. Dan dengan sandal japit tipisnya dia menuju ke bangku belakang yang kosong. Satu-satunya bangku yang masih kosong tepatnya. Aku rasa dia lelah sekali. Namun dia masih nampak semangat. Sambil bersiul-siul dia menghitung recehannya. Tidak berapa lama kemudian, naiklah seorang bapak yang menurut penglihatanku belum bisa dikatakan tua. Sekitar empat puluh lima jika kutaksir umurnya. Si pengamen segera berdiri dan mempersilahkan sang bapak duduk.
“Nggak usah, Nak. Bapak sebentar lagi juga turun kok,” tolak sang bapak
“Nggak apa-apa, Pak. Aku cuma ngamen kok di sini. Aku nggak dapat jatah duduk. Ini jatahnya, Bapak.”
Dia kemudian menepi, dan sang bapak pun duduk dengan senyum tersimpul di mulutnya.
Sungguh aku takjub melihatnya. Tahu apa pengamen ini tentang jatah. Kenapa seorang pengamen seperti dia tahu makna jatah dengan baik. Tahu menempatkan dirinya. Kenapa berbeda sekali dengan orang-orang yang ada di gedung megah sana? Orang-orang yang selalu meneriakkan tentang hak-hak sesama manusia. Orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan persamaan hak asasi dalam orasi kampanye partainya. Kenapa justru orang-orang yang selalu berteriak-teriak itu yang cepat sekali lupa akan isi teriakannya? Dan kenapa justru sang pengamen, yang tidak pernah berjanji ngalor-ngidul ini, yang bahkan dengan kalimat lugunya akan sebuah jatah, yang aku rasa lebih memahami maknanya?
Hah… biarlah. Mungkin lambat laun yang akan mempunyai ilmu moral dengan baik dan benar adalah orang-orang kecil seperti kami. Dan beberapa kaum terpelajar yang tidak tercemar oleh hausnya kuasa. Dan aku harap kedua putriku adalah yang terakhir. Sungguh aku tidak akan rela melihat putriku tumbuh menjadi makhluk tak bermoral. Biarlah aku tetap berjuang dengan jalanku sekarang ini, aku ikhlas.
Hemm… berjuang! Terdengar indah sekali kata-kata itu di telinga. Serasa hidup ini mempunyai makna ketika mendengarnya. Serasa anggun karena tak ada tangan-tangan di bawah meminta-minta, tetapi tetap berjuang dihiasi keringat mengalir deras untuk meneruskan arti di dunia. Yah… perjuangan. Mungkin itulah selayaknya makna manusia dicipta di dunia.
Tapi sayang sekali., berjuang tak semudah yang kukira. Tak seindah yang kuharapkan kurasa. Tak jarang remuk redam rasanya ini raga. Lelah, sering menemani langkah. Dan amarah jarang alpa ketika penat mulai menggerogoti rasa. Hah… keluhan hanyalah tinggal keluhan di duniaku, Kawan. Orang-orang seperti aku sama sekali tak punya hak untuk mengeluh. Bahkan seharusnya tak punya waktu untuk mengeluh. Kami harus tetap berjuang, tak peduli lagi sudah setinggi apa matahari menyengat tubuh kami. Jika memang ada ruang untuk keluhan, itu adalah dari orang-orang yang lebih tinggi dan berkuasa yang ditujukan kepada kami. Mungkin karena mereka sudah tidak ada tempat mengeluh lagi, maka mereka melampiaskan kepada kami dengan alasan tak beresnya pekerjaan kami meskipun kami telah melakukannya dengan sebaik kami bisa. Mencela apa yang kami lakukan karena dinilai tak berharga untuk mereka dan terlalu rendah untuk diri mereka. Yah banyak sekali macamnya dan aku hanya bisa pasrah mendengarkannya. Biarlah, itung-itung aku bantu mereka menghilangkan sedikit kepenatannya.
Ups… itu bukan berarti aku langsung menyamaratakan mereka. Tidak sedikit juga dari golongan mereka yang menganggap kami lain. Mereka tetap menghargai kami sebagai manusia sama dengan mereka, dan mempunyai hak-hak yang sama pula dengan mereka. Kebanyakan mereka adalah golongan terpelajar. Benar-benar terpelajar. Itulah mengapa aku selalu membangga-banggakan mereka. Karena golongan yang “benar-benar terpelajar” selalu bermoral. Kenapa aku tekankan kata “benar-benar terpelajar”, karena di jaman sekarang ini sudah menjadi rahasia umum banyak golongan bahkan individu yang sengaja “memelajarkan” dirinya, berkedok pada topeng-topeng keterpelajaran. Tak tahulah aku, ilmu apa saja yang mereka kenyam selama mereka menempuh pendidikannya. Bukan sistem pendidikannya yang salah. Aku rasa ini murni karena individunya yang menyalahartikan arti dari pendidikan itu sendiri. Atau barangkali terlalu sempit pemahaman mereka tentang arti dari sebuah pendidikan itu sendiri. Ah, sudahlah, berhak apa orang rendahan seperti aku ini mengomentari mereka, terlebih berbicara tentang pendidikan. Orang seperti aku layaknya hanya berbicara tentang kehidupan jalanannya. Bagaimana cara agar tetap bertahan hidup di tengah kerasnya perjuangan di dunia.
Seorang pengamen jalanan menyenggol siku kiriku. Aku pun tersadar dari lamunan panjang. Aku memiringkan badan untuk memberi mereka jalan. Mereka mulai memetik senar gitar dan dengan yakin mulai mengeluarkan suara cemprengnya. Sebuah lagu yang cukup sering kudengar, baik dari televisi tetangga maupun dari pengamen-pengamen jalanan karena seringnya lagu ini mereka bawakan, sebuah lagu dari band d’Masive.
Tak ada manusia yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali, segala yang telah terjadi
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini tak ada artinya lagi
Sukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik
Tuhan pastikan menunjukkan kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar dan tak pernah putus asa
Jangan menyerah…
Jangan menyerah…
Jangan menyerah…
Malang, 14 Maret 2010
Impian itu memberiku gambaran yang utuh tentang sebuah istana. Dimana-mana yang kulihat adalah bunga-bunga beraneka warna mengelilingiku. Aku berlari ke sana ke mari, memakan segala jenis makanan yang aku inginkan. Bajuku terbuat dari sutra, ranjang tidurku besar dan bertahtakan emas. Kasurnya empuk sehingga jika aku melompat aku akan serasa melayang di udara. Istana yang megah dan aku penuh dengan kemanjaan di dalamnya.Ya, sebuah Istana untuk Putri dan Pangerannya.
Namun apa boleh buat, impian mungkin hanya sekedar impian. Nasib berkata lain. Aku mendapatkan Istana dalam rupa yang lain. Bukan bunga beranekawarna hiasinya, tetapi debu buangan knalpot bus tua. Sekarang aku hanyalah seorang kenek bus kota. Jalanan adalah rumah keduaku. Para sopir adalah partner kerjaku. Dan dimana-mana yang kulihat hanyalah asap kendaraan-kendaraan reyot penghias pagi jalanan, dan para penumpang yang tak jarang mengusik kesabaranku.
Banyak sekali hal yang aku alami selama berada dalam “kantor kerjaku” ini. Aku sering sekali mengalami sakitnya disodok rusuk kiriku ketika para penumpang mulai berdesak-desakkan dalam bus. Sering sekali dimarahi mandor karena uang setoran kurang, dan sekali lagi akibat dari para penumpang yang usil yang tidak membayar uang bus mereka. Belum lagi sakitnya lenganku ketika aku bergelayutan di pintu bus untuk mencari penumpang. Namun itu semua belum berarti apa-apa jika dibandingkan oleh tatapan sinis dan cemoohan yang keluar dari bibir nyinyir manusia-manusia usil yang mengomentari pekerjaanku.
Baiklah, Kawan, aku memang seorang perempuan. Tapi aku tetap manusia seperti kalian. Aku juga bisa mengisi perutku sendiri dengan hasil perjuanganku di jalanan. Mungkin terlihat aneh buat kalian. Seorang perempuan di jalanan berteriak-teriak lantang mencari penumpang. Bergelayut liar di pintu bus mencari penumpang. Dan menerobos ke sana- kemari untuk mengambil uang pembayaran. Ya, ini semua kulakukan untuk sebuah kehidupan. Bukan sekedar kehidupan seorang perempuan, tapi tiga orang perempuan. Aku dan kedua putriku.
Aku seorang janda beranak dua. Suamiku telah lama menghilang. Menghilang dalam arti sebenarnya karena dua tahun lalu dia meninggalkanku dan kedua anakku tanpa pesan. Dia tiba-tiba raib dalam kehidupan. Sejak saat itu pulalah, aku tahu bahwa aku tak mungkin bisa mengandalkan siapa-siapa untuk hidupku. Hanya aku yang mampu mengisi kelanjutan cerita hidupku. Aku sang hakim dalam pengambilan keputusan hidupku.
Dua orang putriku masih duduk di bangku sekolah dasar. Terakhir kuingat mereka menuliskan angka 2 dan 3 pada tulisan kelas di sampul cokelat buku mereka. Mereka dua orang putri yang manis. Aku kira, Tuhan sengaja memberi mereka untuk penghibur hatiku. Mereka benar-benar dua orang putri yang penurut, tak pernah membuatku kesal. Dengan rambut berkepang dua, mereka menembus cakrawala pagi menuju gerbang sekolah. Mereka tidak pernah mengeluh dengan alas kaki mereka, dengan tas sekolah mereka, dan dengan seragam yang mereka kenakan, yang kesemuanya mungkin bisa dibilang sudah tidak layak pakai. Mereka tidak pernah menceritakan cacian-cacian yang mereka terima di sekolahnya, mereka tidak pernah mengeluh betapa kesulitannya mereka belajar tanpa buku pendamping. Mereka memang anak yang manis. Aku hanya sesekali menerima keluhan dari mereka yaitu ketika aku memaksa pergi bekerja dalam keadaan sakit. Kawan, mereka benar-benar Kartini-kartini kecilku.
Aku tidak peduli lagi akan anggapan yang ada di negeriku ini yang menganggap perempuan seharusnya tidak ada di jalanan. Aku sudah lama melupakan akan perbedaan gender dan peranannya di negeriku ini, perempuan lebih baik di rumah biarlah lelaki yang mencari nafkah. Entahlah berasal dari mana kata-kata itu, aku tak mau ambil pusing.Yang kutahu adalah bagaimana caranya bertahan hidup dan mempertahankan hidupku beserta dua orang putriku. Biarlah aku menggelandang di jalanan asal anakku masih bisa menikmati hak-hak mereka di dunia. Aku ingin melihat mereka bias menikmati pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Aku sering membayangkan mereka memakai jas kebanggaan kampus mereka dan ikut berteriak-teriak di jalanan menyuarakan kebenaran. Bukan dengan cara anarkis seperti yang banyak kulihat sekarang. Mereka akan menyuarakan kebenaran mereka dengan indah. Dengan sajak-sajak yang akan mereka buat. Sajak-sajak tentang arti kebenaran dalam kehidupan yang kurasa sudah mulai pudar. Sungguh indah benar, sampai takkan ada hati yang tak tergerak olehnya. Perasaan malu akan muncul ketika mendengarnya dan topeng-topeng kebusukan enyah dengan sendirinya.
Tapi, itu hanyalah anganku. Terserah kedua putriku saja nantinya. Biar mereka pilih jalan mereka sendiri. Aku hanya memberi ide, biar mereka yang menentukan. Aku tidak akan turut campur.
Namun yang jelas putriku harus terhindar dari kebodohan. Karena aku merasa, kebodohanlah awal dari bobroknya moral. Mereka harus menjadi manusia-manusia bermoral. Mungkin bagimu, Kawan, terasa aneh mendengar manusia seperti aku berbicara moral. Aku memang tidak begitu tahu tentang apa itu moral, tapi kehidupan jalanan memberiku sedikit gambaran tentang apa itu moral. Moral adalah kejujuran, moral adalah adanya rasa malu untuk merebut hak orang lain.
Aku jadi teringat akan kisah seorang pengamen jalanan yang kebetulan waktu itu sedang mengamen di busku. Suaranya yang cempreng berusaha menyanyikan lagu salah satu band ternama di negeri ini. Setelah menyanyi dia mulai meminta receh kepada para penumpang dermawan yang mau berbagi dengannya. Peluh membasahi tubuh kerempengnya. Dan dengan sandal japit tipisnya dia menuju ke bangku belakang yang kosong. Satu-satunya bangku yang masih kosong tepatnya. Aku rasa dia lelah sekali. Namun dia masih nampak semangat. Sambil bersiul-siul dia menghitung recehannya. Tidak berapa lama kemudian, naiklah seorang bapak yang menurut penglihatanku belum bisa dikatakan tua. Sekitar empat puluh lima jika kutaksir umurnya. Si pengamen segera berdiri dan mempersilahkan sang bapak duduk.
“Nggak usah, Nak. Bapak sebentar lagi juga turun kok,” tolak sang bapak
“Nggak apa-apa, Pak. Aku cuma ngamen kok di sini. Aku nggak dapat jatah duduk. Ini jatahnya, Bapak.”
Dia kemudian menepi, dan sang bapak pun duduk dengan senyum tersimpul di mulutnya.
Sungguh aku takjub melihatnya. Tahu apa pengamen ini tentang jatah. Kenapa seorang pengamen seperti dia tahu makna jatah dengan baik. Tahu menempatkan dirinya. Kenapa berbeda sekali dengan orang-orang yang ada di gedung megah sana? Orang-orang yang selalu meneriakkan tentang hak-hak sesama manusia. Orang-orang yang selalu menggembar-gemborkan persamaan hak asasi dalam orasi kampanye partainya. Kenapa justru orang-orang yang selalu berteriak-teriak itu yang cepat sekali lupa akan isi teriakannya? Dan kenapa justru sang pengamen, yang tidak pernah berjanji ngalor-ngidul ini, yang bahkan dengan kalimat lugunya akan sebuah jatah, yang aku rasa lebih memahami maknanya?
Hah… biarlah. Mungkin lambat laun yang akan mempunyai ilmu moral dengan baik dan benar adalah orang-orang kecil seperti kami. Dan beberapa kaum terpelajar yang tidak tercemar oleh hausnya kuasa. Dan aku harap kedua putriku adalah yang terakhir. Sungguh aku tidak akan rela melihat putriku tumbuh menjadi makhluk tak bermoral. Biarlah aku tetap berjuang dengan jalanku sekarang ini, aku ikhlas.
Hemm… berjuang! Terdengar indah sekali kata-kata itu di telinga. Serasa hidup ini mempunyai makna ketika mendengarnya. Serasa anggun karena tak ada tangan-tangan di bawah meminta-minta, tetapi tetap berjuang dihiasi keringat mengalir deras untuk meneruskan arti di dunia. Yah… perjuangan. Mungkin itulah selayaknya makna manusia dicipta di dunia.
Tapi sayang sekali., berjuang tak semudah yang kukira. Tak seindah yang kuharapkan kurasa. Tak jarang remuk redam rasanya ini raga. Lelah, sering menemani langkah. Dan amarah jarang alpa ketika penat mulai menggerogoti rasa. Hah… keluhan hanyalah tinggal keluhan di duniaku, Kawan. Orang-orang seperti aku sama sekali tak punya hak untuk mengeluh. Bahkan seharusnya tak punya waktu untuk mengeluh. Kami harus tetap berjuang, tak peduli lagi sudah setinggi apa matahari menyengat tubuh kami. Jika memang ada ruang untuk keluhan, itu adalah dari orang-orang yang lebih tinggi dan berkuasa yang ditujukan kepada kami. Mungkin karena mereka sudah tidak ada tempat mengeluh lagi, maka mereka melampiaskan kepada kami dengan alasan tak beresnya pekerjaan kami meskipun kami telah melakukannya dengan sebaik kami bisa. Mencela apa yang kami lakukan karena dinilai tak berharga untuk mereka dan terlalu rendah untuk diri mereka. Yah banyak sekali macamnya dan aku hanya bisa pasrah mendengarkannya. Biarlah, itung-itung aku bantu mereka menghilangkan sedikit kepenatannya.
Ups… itu bukan berarti aku langsung menyamaratakan mereka. Tidak sedikit juga dari golongan mereka yang menganggap kami lain. Mereka tetap menghargai kami sebagai manusia sama dengan mereka, dan mempunyai hak-hak yang sama pula dengan mereka. Kebanyakan mereka adalah golongan terpelajar. Benar-benar terpelajar. Itulah mengapa aku selalu membangga-banggakan mereka. Karena golongan yang “benar-benar terpelajar” selalu bermoral. Kenapa aku tekankan kata “benar-benar terpelajar”, karena di jaman sekarang ini sudah menjadi rahasia umum banyak golongan bahkan individu yang sengaja “memelajarkan” dirinya, berkedok pada topeng-topeng keterpelajaran. Tak tahulah aku, ilmu apa saja yang mereka kenyam selama mereka menempuh pendidikannya. Bukan sistem pendidikannya yang salah. Aku rasa ini murni karena individunya yang menyalahartikan arti dari pendidikan itu sendiri. Atau barangkali terlalu sempit pemahaman mereka tentang arti dari sebuah pendidikan itu sendiri. Ah, sudahlah, berhak apa orang rendahan seperti aku ini mengomentari mereka, terlebih berbicara tentang pendidikan. Orang seperti aku layaknya hanya berbicara tentang kehidupan jalanannya. Bagaimana cara agar tetap bertahan hidup di tengah kerasnya perjuangan di dunia.
Seorang pengamen jalanan menyenggol siku kiriku. Aku pun tersadar dari lamunan panjang. Aku memiringkan badan untuk memberi mereka jalan. Mereka mulai memetik senar gitar dan dengan yakin mulai mengeluarkan suara cemprengnya. Sebuah lagu yang cukup sering kudengar, baik dari televisi tetangga maupun dari pengamen-pengamen jalanan karena seringnya lagu ini mereka bawakan, sebuah lagu dari band d’Masive.
Tak ada manusia yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali, segala yang telah terjadi
Kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini tak ada artinya lagi
Sukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik
Tuhan pastikan menunjukkan kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar dan tak pernah putus asa
Jangan menyerah…
Jangan menyerah…
Jangan menyerah…
Malang, 14 Maret 2010
Senin, 10 Mei 2010
Pemberontak Kecil
Hi… Teman! Senang sekali rasanya aku punya banyak teman seperti kalian. Dan aku amat bersyukur, maka jangan sekalipun kau ragukan itu.
Aku tahu… aku tampak menarik untukmu. Wajah tampanku membuat kebanyakan perempuan dari kalian terpikat. Dan aku senang jika kalian terikat.
Banyak sekali hal kucoba. Aku takkan pernah melewatkan satu hal pun yang membuat aku nyaman di dalamnya. Membuat aku punya perhatian di dalamnya. Dan membuat aku sibuk hingga tak punya waktu memikirkan masa dimana aku terlunta-lunta.
Aku senang berkawan dengan siapapun. Aku juga senang membuat kalian ada, karena dengan begitu, aku tahu kalian pun akan membuatku ada. Tak pernah aku ingin membuat kalian berpikir aku tak berharga. Oleh karena itu, takkan pernah pula aku menciptakan hal-hal yang akan membuat kalian kecewa.
Cukuplah hal itu terjadi di masa kecilku. Cukuplah itu terjadi di rumahku. Cukuplah itu… untuk membuatku berpikir cukup untuk mengulangnya. Masa dimana aku tak pernah menjadi aku. “ Si tukang bikin onar”, mungkin itulah aku dulu. Aku benci sekali dengan lingkunganku waktu itu. Semua serba ingin aku menjauh hanya karena aku tak sesuai dengan aturan mereka.
Mungkin kalian akan berkata, “tapi masih ada orang tua yang menyayangimu”. Mungkin untuk ibu memang demikian, namun sayang, aku anak laki-laki Kawan. Anak laki-laki tidak pantas bermanja-manja kepada ibunya. Ayahku? Hah… tak seharusnya kalian bertanya itu. Setiap kulihat wajah ayahku, dia selalu menatapku dengan pandangan menakutkan. Dia tak pernah mau mendengarkanku, dan aku pun ogah mendengarkannya. “Hai Pemberontak Kecil!!!”, seperti itu kiranya pandangan yang ia lontarkan untukku. Dan aku sama sekali tak suka.
Aku selalu merasa tersisih, Kawan. Yah… tersisih di rumahku sendiri. Tak ada yang pedulikan aku. Semua hanya kehendaki aku bertingkah semanis yang mereka rasa. Tapi aku tak mungkin akan lakukannya. Aku suka melihat mereka jengkel dengan membelalakkan mata. Sering sekali aku pancing amarah mereka. Aku suka ketika mereka berpaling padaku dan mengatakan omelan-omelan panjang. Suka sekali ketika mereka menyentuhkan tangan ke kuping kiri dan kananku sambil menyuruhku untuk tidak bandel lagi. Hah… tidak bandel lagi? Sedang bercanda apa mereka? Sepertinya mereka sedang ingin menghilangkan diriku. Ooo… belum tahu apa mereka, apa-apa saja yang bisa aku lakukan. Aku akan dengan senang hati membantah omongan-omongan mereka. Meninggalkan petuah-petuah mereka. Dan aku akan mencari diriku bukan dengan dunia mereka.
Aku tahu bahwa yang berhak menciptakan duniaku adalah aku sendiri. Aku akan mencari tanpa bantuan mereka. Aku sudah bukan si Pemberontak Kecil lagi. Aku sudah dewasa, dan akan kutentukan sendiri semua. Bukankah begitu, Kawan?
Dan dalam pencarianku ini, aku menemukan kalian. Aku suka dengan kalian. Dan takkan pernah kuberi alasan diriku untuk membuat kalian menjauh.
Aku tak perlu kalian dengarkan. Biarkan aku yang mendengarkan. Asal kalian tetap meng”ada”kan aku, itu takkan jadi masalah untukku. Lagipula aku juga tahu, kalian takkan pernah mengerti diriku. Mengerti diriku hanya akan membuat kalian risih. Jadi biarlah semua seperti ini. Biarlah aku tetap asik dengan ke”ada”anku, dan kubiarkan kalian asik dengan keberadaanku. Bagaimana, bukankah dengan begini kita akan sama-sama diuntungkan?
Malang, 6 Maret 2010 (Arira)
Inspired by: org2 yg sudah mau berbagi denganku.
Langganan:
Postingan (Atom)