Minggu, 27 November 2011

Jiwa VS Tubuh

Ibuku pernah bilang sukuri apa saja yang telah Allah anugerahkan untukmu. Tapi akankah aku bisa mensukuri ini, yang bahkan anugerah atau musibah pun aku tidak tahu. Aku merasa terperangkap dalam raga yang salah. Jiwaku tersesat dalam tubuh ini. Dia berusaha mencari jalan untuk pulang, tapi ternyata satu-satunya rumah yang dia miliki adalah tubuh ini.

Berdasarkan raga yang kupunya, aku terlabel dengan sempurna sebagai seorang laki-laki. Aku sadar raga yang kupunya nyaris sempurna, aku dengan ciri-ciri fisikku tergolong sebagai keturunan Adam yang tampan rupa. Dan seharusnya aku bangga dengan ini semua.

Hmmm... apalah daya, jiwaku sama sekali tak terima. Memaksa keluar atau jika perlu raga harus takluk padanya. Aku harus membela siapa dalam perkelahian ini? Tak bisakah mereka menyatu? Akur dan saling melengkapi satu sama lain. Aku iri melihat sekelilingku. Raga dan jiwa mereka bahu membahu saling menyesuaikan, berusaha selaraskan apa yang ada sebagai anugerah Tuhan.

Lalu di sebelah mana aku harus bersukur akan ini semua? Bahkan Allah pun sepertinya sedang mengajak aku bercanda. Senang dengan arena pergulatan antara tubuh dan jiwaku. Menikmati sisi kekonyolanku karena hanya bisa termangu.

Sisi lain dari nurani berkata, “Ikutilah jiwamu”. Di situlah esensi dari dirimu. Tak mengapalah ragamu tak mau akur dengan jiwamu, asal dia masih mau memberi tempat buat jiwamu, diamlah. Sebentar lagi ragamu yang akan mengikuti jiwamu, karena jiwamu lebih berkuasa akan sesuatu. Tetaplah bersama dengan jiwamu, karena dialah sang pemberontak dalam pergulatan ini. Sang raga hanya musuh tak berdaya. Dia tak akan melakukan pemberontakan yang berbahaya.

Maka aku pun memutuskan memaksa sang raga menyerah. Bibir mulai kupoles gincu, rambut panjang tergerai di bahu, kaos ketat hiasi dada datarku, oh aku memimpikan mempunyai payudara di area ini, tapi tak apalah...aku pun mulai mengenakan rok bunga merah jambu untuk menambah anggun pesonaku. Aku sang manusia baru akan keluar sembari tersenyum penuh haru. Merasa puas akan pemaknaan hidupku yang baru.

Tapi entah mengapa pertanyaan tak jua kunjung menyerah menyerang rasa amanku. Benarkah senyumku ini senyum haru puas akan pemaknaan hidup baru? Atau jangan-jangan ini adalah senyum kelu dari sisi lain nuraniku? Apakah memang esensi hidup terletak pada jiwaku? Lalu mau dikemanakan ragaku? Ditaklukan dan dibuat tak layak dihadapan sang Jiwa? Apakah benar dengan begini ke-aku-anku tak akan dipertanyakan? Apakah memang benar aku akan menjadi aku dengan memenangkan secara sepihak aktor dalam pergulatan jiwa vs tubuh?


(Malang, 24 Mei 2010)

Gelandangan's mind

Orang-orang berlalu lalang di depanku. Tidak ada yang memperhatikanku, hanya sesekali melirik. Pandangan penuh tanda tanya seperti itu, sudah biasa untukku. Mereka dengan ukuran-ukuran yang mereka buat, menggolongkanku dalam hal yang "luar biasa". Seorang gembel yang tak tahu diuntung. Penampilanku mengobok-obok penglihatan mereka. Kumuh! Lusuh! dan bau debu! O rupanya penciuman juga terjamah. Begitu hebatnya aku. Aku berbeda dari mereka. Aku tidak terikat dengan aturan-aturan baku mereka tentang penampilan.Lihatlah mereka semua. Sama! Tubuhnya dirusuhi oleh 'merek-merek' bikinan mereka. Baju mereka sama, alas mereka sama, rambut mereka sama, bau dan gaya yang dianut sama. Hah... kenapa harus mereka yang menganggapku "luar biasa" ? Hmmm... tidak, tidak... aku memang "luar biasa". Aku merdeka, tidak terjajah seperti mereka. Aku dengan ke-aku-anku dan mereka dengan seperti kebanyakan mereka. Orang aneh dengan komplotannya.

Malang, Mei 2009 at TI class (Boring)

Jumat, 18 November 2011

Hari ini naik kendaraan rakyat ini lagi. Lama aku tak menjamahnya. Aku berusaha membumi lagi. yah terlalu lama aku membatasi diriku sendiri, dengan tembok tebal bernama Civitas, dan aku mulai mengkotakkan diri sendiri. Betapa malu ternyata banyak sekali hal yang tidak aku kenali. Cara bicara sederhana khas mereka, pendapat-pendapat asing mereka, dan keluhan penuh rasa syukur mereka.

Keluhan penuh rasa syukur? sekilas memang terlihat paradoks keadaan ini. Tapi inilah keunikan bangsaku. Dibalik keluhan dan sesuatu hal yang dipanggil "tidak adil" oleh mereka, mereka tetap menyertakan syukur dibelakangnya. Sempat aku dengar celoteh seorang nenek tentang peraturan baru mengenai tempat duduk dalam kereta. Tempat duduk dalam kereta sekarang disesuaikan dengan nomer yang tertera di karcis. Sang nenek mengeluh, "Wong tuek koyok awakdewe wes repot nek dikongkon golek nomer lungguhan. Durung tutuk panggon wes remek. Lah piye wong gowoane akeh. Tapi yo Alhamdulillah sek dikei sehat nang gusti Alloh, dadi jek iso numpak kereto." (Orang tua seperti kita sudah mengalami kerepotan kalau disuruh mencari nomer tempat duduk. Belum sampai di tempat sudah capek. Lah barang bawaannya banyak. Tapi Alhamdulillah masih diberi sehat sama Alloh, jadi masih bisa naik kereta) Celetukan itu kemudian membuat aku berpikir, bahwa orang Indonesia adalah orang yang dipenuhi rasa syukur. Meskipun entahlah, itu adalah suatu hal yang termasuk positif atau hanya suatu bentuk lain dari rasa "pasrah" (baca: malas berusaha, rendah diri, pembelaan atas ketakmampuan diri). Namun yang jalas saya menjadi tahu, bahwa orang Indonesia tidak membuat tunggal keluhannya, selalu ada akhiran berupa ucapan "syukur" atas keluhannya.

Keunikan ini menjadi khas disertai dengan senyuman yang mengikutinya... Orang Indonesia, mungkin andai saja aku bisa "mendekatkan" diri dengannya, aku akan belajar lebih banyak lagi hal-hal unik lainnya. Mungkin aku akan belajar untuk tidak lagi memupuk kesombongan-kesombongan diri. Mungkin aku akan dengan mudah mengartikan makna dibalik keluhan dan rasa syukur mereka. Dan mungkin aku akan menjadi lebih tahu tentang diri sebenarnya, karena melihat mereka sama dengan sedang merefleksikan diri dalam bentuk yang lebih sederhana...


Surabaya, 18 November 2011