Ibuku pernah bilang sukuri apa saja yang telah Allah anugerahkan untukmu. Tapi akankah aku bisa mensukuri ini, yang bahkan anugerah atau musibah pun aku tidak tahu. Aku merasa terperangkap dalam raga yang salah. Jiwaku tersesat dalam tubuh ini. Dia berusaha mencari jalan untuk pulang, tapi ternyata satu-satunya rumah yang dia miliki adalah tubuh ini.
Berdasarkan raga yang kupunya, aku terlabel dengan sempurna sebagai seorang laki-laki. Aku sadar raga yang kupunya nyaris sempurna, aku dengan ciri-ciri fisikku tergolong sebagai keturunan Adam yang tampan rupa. Dan seharusnya aku bangga dengan ini semua.
Hmmm... apalah daya, jiwaku sama sekali tak terima. Memaksa keluar atau jika perlu raga harus takluk padanya. Aku harus membela siapa dalam perkelahian ini? Tak bisakah mereka menyatu? Akur dan saling melengkapi satu sama lain. Aku iri melihat sekelilingku. Raga dan jiwa mereka bahu membahu saling menyesuaikan, berusaha selaraskan apa yang ada sebagai anugerah Tuhan.
Lalu di sebelah mana aku harus bersukur akan ini semua? Bahkan Allah pun sepertinya sedang mengajak aku bercanda. Senang dengan arena pergulatan antara tubuh dan jiwaku. Menikmati sisi kekonyolanku karena hanya bisa termangu.
Sisi lain dari nurani berkata, “Ikutilah jiwamu”. Di situlah esensi dari dirimu. Tak mengapalah ragamu tak mau akur dengan jiwamu, asal dia masih mau memberi tempat buat jiwamu, diamlah. Sebentar lagi ragamu yang akan mengikuti jiwamu, karena jiwamu lebih berkuasa akan sesuatu. Tetaplah bersama dengan jiwamu, karena dialah sang pemberontak dalam pergulatan ini. Sang raga hanya musuh tak berdaya. Dia tak akan melakukan pemberontakan yang berbahaya.
Maka aku pun memutuskan memaksa sang raga menyerah. Bibir mulai kupoles gincu, rambut panjang tergerai di bahu, kaos ketat hiasi dada datarku, oh aku memimpikan mempunyai payudara di area ini, tapi tak apalah...aku pun mulai mengenakan rok bunga merah jambu untuk menambah anggun pesonaku. Aku sang manusia baru akan keluar sembari tersenyum penuh haru. Merasa puas akan pemaknaan hidupku yang baru.
Tapi entah mengapa pertanyaan tak jua kunjung menyerah menyerang rasa amanku. Benarkah senyumku ini senyum haru puas akan pemaknaan hidup baru? Atau jangan-jangan ini adalah senyum kelu dari sisi lain nuraniku? Apakah memang esensi hidup terletak pada jiwaku? Lalu mau dikemanakan ragaku? Ditaklukan dan dibuat tak layak dihadapan sang Jiwa? Apakah benar dengan begini ke-aku-anku tak akan dipertanyakan? Apakah memang benar aku akan menjadi aku dengan memenangkan secara sepihak aktor dalam pergulatan jiwa vs tubuh?
(Malang, 24 Mei 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar