Jumat, 18 November 2011

Hari ini naik kendaraan rakyat ini lagi. Lama aku tak menjamahnya. Aku berusaha membumi lagi. yah terlalu lama aku membatasi diriku sendiri, dengan tembok tebal bernama Civitas, dan aku mulai mengkotakkan diri sendiri. Betapa malu ternyata banyak sekali hal yang tidak aku kenali. Cara bicara sederhana khas mereka, pendapat-pendapat asing mereka, dan keluhan penuh rasa syukur mereka.

Keluhan penuh rasa syukur? sekilas memang terlihat paradoks keadaan ini. Tapi inilah keunikan bangsaku. Dibalik keluhan dan sesuatu hal yang dipanggil "tidak adil" oleh mereka, mereka tetap menyertakan syukur dibelakangnya. Sempat aku dengar celoteh seorang nenek tentang peraturan baru mengenai tempat duduk dalam kereta. Tempat duduk dalam kereta sekarang disesuaikan dengan nomer yang tertera di karcis. Sang nenek mengeluh, "Wong tuek koyok awakdewe wes repot nek dikongkon golek nomer lungguhan. Durung tutuk panggon wes remek. Lah piye wong gowoane akeh. Tapi yo Alhamdulillah sek dikei sehat nang gusti Alloh, dadi jek iso numpak kereto." (Orang tua seperti kita sudah mengalami kerepotan kalau disuruh mencari nomer tempat duduk. Belum sampai di tempat sudah capek. Lah barang bawaannya banyak. Tapi Alhamdulillah masih diberi sehat sama Alloh, jadi masih bisa naik kereta) Celetukan itu kemudian membuat aku berpikir, bahwa orang Indonesia adalah orang yang dipenuhi rasa syukur. Meskipun entahlah, itu adalah suatu hal yang termasuk positif atau hanya suatu bentuk lain dari rasa "pasrah" (baca: malas berusaha, rendah diri, pembelaan atas ketakmampuan diri). Namun yang jalas saya menjadi tahu, bahwa orang Indonesia tidak membuat tunggal keluhannya, selalu ada akhiran berupa ucapan "syukur" atas keluhannya.

Keunikan ini menjadi khas disertai dengan senyuman yang mengikutinya... Orang Indonesia, mungkin andai saja aku bisa "mendekatkan" diri dengannya, aku akan belajar lebih banyak lagi hal-hal unik lainnya. Mungkin aku akan belajar untuk tidak lagi memupuk kesombongan-kesombongan diri. Mungkin aku akan dengan mudah mengartikan makna dibalik keluhan dan rasa syukur mereka. Dan mungkin aku akan menjadi lebih tahu tentang diri sebenarnya, karena melihat mereka sama dengan sedang merefleksikan diri dalam bentuk yang lebih sederhana...


Surabaya, 18 November 2011

2 komentar:

  1. hhhaaa... aq pernah naek kereta tujuan malang - semarang dengan keadaan tdk dpt tempat duduk.. alhasil yaa berdiri terus ampek tujuan.. hhaa tp seru...enaknya naik ekonomi salah satunya, adalah orangnya rata-rata ramah. Sebagian besar senan...g menebar senyum, walaupun tidak semuanya. Berbeda sekali dengan penumpang kereta eksekutif yang cenderung individualis. Bagaimana tidak jika begitu masuk kereta eksekutif sudah dimanja pendingin ruangan dan kursi nyaman yang empuk?

    Enaknya naik ekonomi lagi, orang-orangnya senang cerita, dan banyak cerita yang bisa dipetik di kereta penumpang kelas “anak tiri” ini. Kalau diibaratkan, kereta adalah mikrokosmos kehidupan. Ada awal dan ada akhirnya. Di perjalanan, orang-orang datang dan pergi dengan ceritanya sendiri-sendiri. Dan kita bisa memilih hanya menjadi penumpang atau membuat kisah “dramatis” sendiri.hahahahaaha

    BalasHapus
  2. melakukan hal-hal yang merakyat, memberikan pelajaran ttg esensi "rakyat"

    BalasHapus