Senin, 08 Oktober 2012

Aku dan Siti Nurbaya

Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini hari spesial. Menurut keluargaku seperti itu. Menurutku tetanggaku seperti itu. Menurut teman-temanku seperti itu. Tapi tak ada yang tanya menurutku.

Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini hari spesial. Aku tampak cantik dalam balutan gaun putihku. Dalam balutan kain motif batikku. Dalam balutan bedak tebal mukaku. Tapi tak ada yang bisa membalut hatiku.

Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini hari spesial. Aku duduk di singgasana layaknya putri raja. Semua orang terpesona menatapku. Aku duduk di samping raja. Raja yang tak kuurusi namanya. Aku hanya sekilas saja melihat mukanya.

Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini spesial. Mereka semua tertawa. Riang. Senang. Hingar. Bingar. Tapi hanya aku saja yang nanar.

Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini spesial. Tanpa perlu aku tahu, aku telah menjadi Siti Nurbaya baru. Tidak... tidak... disampingku bukan Datuk Maringgi. Aku lega karena memang bukan si Datuk Maringgi. Tapi dia juga bukan si Samsul Bahri.

Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini spesial. Aku lah si gadis berbakti dengan orang tuanya. Semua perintah terlaksana tanpa banyak tingkah. Tanpa banyak bantah. Tanpa banyak alasan kureka. Dan karena itulah... hari ini aku menikah tanpa tahu bahagia itu apa.

Kamis, 24 Mei 2012

catatan senja


Beberapa tahun aku tinggal dengannya. Perempuan di sampingku ini. Aku suka… dia tak pernah mengeluh…

Kami tinggal di pinggir jalan yang lengang. Kami suka kedamaian. Kami menikmati hidup tanpa banyak alasan. Tanpa banyak keluhan. Hmmm… keluhan, aku sudah lama lupa. Aku belajar darinya. Perempuan spesialku ini. Sampai masa rentaku ini, aku hanya bisa memberikannya sederet tembok dan sebuah terpal. Yah… se-deret, karena tembok yang memang hanya sederet inilah yang menjadi tanda rumah kami. Tembok yang sebenarnya tak pernah kami miliki.

Tembok ini adalah tembok rumah orang. Kami hanya menumpang untuk sekedar basa basi menjadikannya tanda. Atap kami hanyalah terpal biru yang sudah mulai kusut dan usang ini. Entahlah nanti kalau hujan, apakah masih bisa melindungi kami. Sebenarnya terpal dan sederet tembok ini memang tak pernah benar-benar melindungi kami. Kami selalu kedinginan. Tapi, darinya, dari perempuanku ini, aku belajar tak mengeluh. kami tetap menikmati rumah kami. Tetap menikmati amben tempat tidur kami. Tetap menikmati makanan yang diolah olehnya di dapur kami. Dapur yang langsung menyatu dengan kamar tidur.

Rumah kami spesial. Rumah kami tak memiliki sekat. Rumah kami tak memiliki ruang. Rumah kami tak seperti rumah kalian. Semua hal dari rumah kami mengusung konsep “satu”. Ruangan rumah ini hanya satu. Hanya ada satu ruang untuk amben tidur dan dapur. Kami bahkan tak punya ruang tamu. Dan dia… perempuanku ini, tak pernah mengeluh.

Kami makan, tidur, dan menikmati jalanan lengang kami bersama-sama. Masa tua kami mungkin terlalu sederhana, tapi kami menikmatinya. Senja kami terasa berbeda, karena kami lupa cara mengeluhkannya.

Hey, perempuanku… aku belajar ini semua darimu…

(hanya sebuah fiksi untuk menguji diri. inspired by: kakek nenek, belakang smasa pas, Jl. Belitung)

Senin, 26 Maret 2012

Part 1: Mencari Manusia


Hari ini aku sedang menjalankan misi besar. Mencari sesuatu yang benar-benar esensial di bumi ini. “Apa yang sedang kau cari?”, sisi meraguku mulai bertanya. Sempat goyah tapi kemudian aku tertawa.  “Aku sedang mencari manusia. Bodoh. Masakan hal begini saja tidak tahu. Apalagi yang lebih esensial di bumi ini selain manusia.”
Aku kembali melangkah percaya. Namun bukan si meragu kalau tak banyak bertanya. “Mengapa harus manusia”. Berhenti dan mulai goyah lagi. Tapi kemudian cengiran itu kembali. “Bodoh. Mengapa masih bertanya. Apalagi yang lebih esensial di bumi ini selain manusia. Bukankah Tuhan pun menunjukkan pertandaNya. Dia ciptakan manusia sebagai sempurna diantara makhluk lainnya. Dia dapat berkarsa, berkarya, dan berasa. Sungguh hal aneh jika kau terus bertanya”. Cengiranku semakin lebar karena merasa aku sudah menang dengan jawaban yang kulontarkan.
Aku melangkah… melangkah… melangkah… dan si meragu tak lagi bertanya, atau jangan-jangan dia sedang bersiaga dengan pertanyaan selanjutnya. Aku mulai meragu. Berhenti sebentar dan dengan seksama mendengarkan, siapa tahu si meragu sedang kasak kusuk dengan pertanyaan rahasianya. Tak ada suara. Hanya suara pertanyaanku sendiri, “Mengapa si meragu tak bertanya?”. Aku tak peduli lagi. Telah kupastikan si meragu telah menyerah. Aku melangkah… melangkah… dan melangkah. Aku mulai memberi titah kepada kaki untuk terus melangkah, yah melangkah mencari manusia.
Aku melangkah… melangkah… dan melangkah. Tapi akhirnya aku tak tahan juga. Aku kelelahan dengan sunyi tanpa meragu. Aku berhenti. Lama… aku berhenti. Mendengarkan sunyi. Mendengarkan keherananku sendiri. Lalu tak tahan lagi maka aku usik sunyi si meragu, “Kenapa kau tak lagi bertanya, hai, meragu?”. Tidak ada jawaban. Lama… aku mulai jengah. “Hai meragu, mengapa kau tak bertanya lagi? Apakah kau sudah bukan lagi meragu?”. Terdengar cekikikan melecehkan. Ada sedikit lega. Itu cekikian si meragu. “Kenapa kau malah cekikikan seperti itu? Kiranya kau kini berubah menjadi si periang.” Tanyaku. Sunyi… sunyi… sunyi. Sampai akhirnya setelah kesunyian benar-benar membelenggu, dia menjawab, “Meragu selamanya akan menjadi meragu selama tetap ada rasa ragu. Aku diam bukan berarti tak meragu. Aku tak bertanya bukan berarti tak meragu. Aku hanya berubah keraguan.” Congkak sekali ia, pikirku. “Apa maksudmu? Aku tak mengerti.” Aku mulai muak dengannya.
“Aku hanya meragu, apakah yang kau cari akan kau temukan? Apakah memang akan kau temukan seorang manusia? Akan kau cari dimana, hei, bodoh?”.
“Kenapa kau tanyakan seperti itu?”
“Begini, jika memang kau mencari manusia, pastilah kau sudah kenal dengan manusia. Seperti apa manusia itu. Kiranya kau bersedia memberitahuku, seperti apa ciri-ciri manusia itu?”
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
(aku diam… diam… bertanya pada diriku, “apakah aku sudah belajar tentang manusia?”)

Sabtu, 18 Februari 2012

Dongeng: Awan dan Hujan


Pernahkah kamu bertanya teman, mengapa langit terkadang suka meneteskan butiran-butiran air? Apakah langit sedang menangis? Atau mungkin kran air si langit sedang bocor?
Aku punya secuil cerita tentangnya…

Alkisah dulu matahari tak sebaik sekarang. Sekarang kita bisa menikmati kebaikan matahari yang menyinarkan dirinya dengan hangat, namun dulu jangan harap matahari akan melakukannya. Matahari masih muda dan suka sekali menyombongkan sinarnya. Dia mengeluarkan seluruh sinar yang dipunyainya, sehingga udara pun menjadi sangat panas.

Sang laut dan danau yang terkena sinar matahari ini kemudian merasakan gerah yang teramat sangat dan akhirnya mengeluarkan keringat. Untuk menghilangkan rasa gerahnya, danau dan laut mulai mengipasi diri mereka. Laut dan danau mengipasi diri mereka dengan kencang. Hmmm.. bayangkan saja laut dan danau yang sebegitu besarnya mengipasi diri mereka, sudah pasti banyak air yang terciprat kemana-kemana. Cipratan air ini kemudian menjadi butiran-butiran kecil dan sampai di langit, tempat awan bergelantungan. Awan yang juga kepanasan akibat sinar matahari merasa senang melihat cipratan air dari laut dan danau. Air itu membuat tubuhnya dingin.

Tapi cipratan air ini terus-terusan, sang awan pun keberatan menampung air. Awan menjadi sedih karena tubuhnya merasa keberatan. Sangking sedihnya, warna awan yang semula putih berubah menjadi kelabu. Awan kelabu ini kemudian mendapat julukan dari teman-temannya sebagai mendung. Sang mendung kemudian melakukan perjalanan. Mendung berpikir mungkin dengan melakukan perjalanan dia bisa mengurangi air yang menempel padanya. Mendung terus berjalan sampai jauh mencari tempat yang kering untuk membuang airnya.

Namun di tengah perjalanan sang mendung merasa kelelahan. Dia pun berhenti. Tiba-tiba dia mendengar suara dari bawah. “Tolong beri saya air, saya haus. Dan saya ingin air”. Ada seorang manusia yang tengah kehausan di bawah sana. Karena pada dasarnya mendung adalah awan putih yang baik hati, maka dia kemudian memeras air yang menempel pada tubuhnya. Air itu jatuh ke bawah berupa rintikan-rintikan. Sang manusia merasa senang dan menamai rintikan air itu sebagai hujan. Mendung pun merasa senang. Dia tidak lagi merasa keberatan dengan air yang dibawanya, dia pun kembali berwarna putih ceria.

Rintikan-rintikan air itu sampai sekarang masih dapat kita nikmati. Karena sang awan terkadang masih suka menjadi mendung. Hal ini karena matahari suka tiba-tiba jail dengan mengeluarkan sinarnya dengan terlalu…

Sebuah cerita oleh Irwan Nurdianto
Editing by Arie Rahma




Jumat, 10 Februari 2012

Kerendahan Hati


Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

-Taufik Ismail-