Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini hari spesial. Menurut keluargaku seperti itu. Menurutku tetanggaku seperti itu. Menurut teman-temanku seperti itu. Tapi tak ada yang tanya menurutku.
Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini hari spesial. Aku tampak cantik dalam balutan gaun putihku. Dalam balutan kain motif batikku. Dalam balutan bedak tebal mukaku. Tapi tak ada yang bisa membalut hatiku.
Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini hari spesial. Aku duduk di singgasana layaknya putri raja. Semua orang terpesona menatapku. Aku duduk di samping raja. Raja yang tak kuurusi namanya. Aku hanya sekilas saja melihat mukanya.
Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini spesial. Mereka semua tertawa. Riang. Senang. Hingar. Bingar. Tapi hanya aku saja yang nanar.
Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini spesial. Tanpa perlu aku tahu, aku telah menjadi Siti Nurbaya baru. Tidak... tidak... disampingku bukan Datuk Maringgi. Aku lega karena memang bukan si Datuk Maringgi. Tapi dia juga bukan si Samsul Bahri.
Namaku Sari. Aku baru saja lulus SMP. Hari ini spesial. Aku lah si gadis berbakti dengan orang tuanya. Semua perintah terlaksana tanpa banyak tingkah. Tanpa banyak bantah. Tanpa banyak alasan kureka. Dan karena itulah... hari ini aku menikah tanpa tahu bahagia itu apa.
Silahkan dicicipi^^
Senin, 08 Oktober 2012
Kamis, 24 Mei 2012
catatan senja
Beberapa tahun aku tinggal dengannya. Perempuan di sampingku ini. Aku suka…
dia tak pernah mengeluh…
Kami tinggal di pinggir jalan yang
lengang. Kami suka kedamaian. Kami menikmati hidup tanpa banyak alasan. Tanpa banyak
keluhan. Hmmm… keluhan, aku sudah lama lupa. Aku belajar darinya. Perempuan spesialku
ini. Sampai masa rentaku ini, aku hanya bisa memberikannya sederet tembok dan
sebuah terpal. Yah… se-deret, karena tembok yang memang hanya sederet inilah
yang menjadi tanda rumah kami. Tembok yang sebenarnya tak pernah kami miliki.
Tembok ini adalah tembok rumah
orang. Kami hanya menumpang untuk sekedar basa basi menjadikannya tanda. Atap kami
hanyalah terpal biru yang sudah mulai kusut dan usang ini. Entahlah nanti kalau
hujan, apakah masih bisa melindungi kami. Sebenarnya terpal dan sederet tembok ini
memang tak pernah benar-benar melindungi kami. Kami selalu kedinginan. Tapi,
darinya, dari perempuanku ini, aku belajar tak mengeluh. kami tetap menikmati
rumah kami. Tetap menikmati amben tempat tidur kami. Tetap menikmati makanan
yang diolah olehnya di dapur kami. Dapur yang langsung menyatu dengan kamar
tidur.
Rumah kami spesial. Rumah kami tak
memiliki sekat. Rumah kami tak memiliki ruang. Rumah kami tak seperti rumah
kalian. Semua hal dari rumah kami mengusung konsep “satu”. Ruangan rumah ini
hanya satu. Hanya ada satu ruang untuk amben tidur dan dapur. Kami bahkan tak
punya ruang tamu. Dan dia… perempuanku ini, tak pernah mengeluh.
Kami makan, tidur, dan menikmati
jalanan lengang kami bersama-sama. Masa tua kami mungkin terlalu sederhana, tapi
kami menikmatinya. Senja kami terasa berbeda, karena kami lupa cara
mengeluhkannya.
Hey, perempuanku… aku belajar ini
semua darimu…
(hanya sebuah fiksi untuk menguji
diri. inspired by: kakek nenek, belakang smasa pas, Jl. Belitung)
Senin, 26 Maret 2012
Part 1: Mencari Manusia
Hari ini aku sedang menjalankan misi
besar. Mencari sesuatu yang benar-benar esensial di bumi ini. “Apa yang sedang
kau cari?”, sisi meraguku mulai bertanya. Sempat goyah tapi kemudian aku
tertawa. “Aku sedang mencari manusia.
Bodoh. Masakan hal begini saja tidak tahu. Apalagi yang lebih esensial di bumi
ini selain manusia.”
Aku kembali melangkah percaya. Namun
bukan si meragu kalau tak banyak bertanya. “Mengapa harus manusia”. Berhenti
dan mulai goyah lagi. Tapi kemudian cengiran itu kembali. “Bodoh. Mengapa masih
bertanya. Apalagi yang lebih esensial di bumi ini selain manusia. Bukankah
Tuhan pun menunjukkan pertandaNya. Dia ciptakan manusia sebagai sempurna
diantara makhluk lainnya. Dia dapat berkarsa, berkarya, dan berasa. Sungguh hal
aneh jika kau terus bertanya”. Cengiranku semakin lebar karena merasa aku sudah
menang dengan jawaban yang kulontarkan.
Aku melangkah… melangkah… melangkah…
dan si meragu tak lagi bertanya, atau jangan-jangan dia sedang bersiaga dengan
pertanyaan selanjutnya. Aku mulai meragu. Berhenti sebentar dan dengan seksama
mendengarkan, siapa tahu si meragu sedang kasak kusuk dengan pertanyaan
rahasianya. Tak ada suara. Hanya suara pertanyaanku sendiri, “Mengapa si meragu
tak bertanya?”. Aku tak peduli lagi. Telah kupastikan si meragu telah menyerah.
Aku melangkah… melangkah… dan melangkah. Aku mulai memberi titah kepada kaki
untuk terus melangkah, yah melangkah mencari manusia.
Aku melangkah… melangkah… dan
melangkah. Tapi akhirnya aku tak tahan juga. Aku kelelahan dengan sunyi tanpa meragu.
Aku berhenti. Lama… aku berhenti. Mendengarkan sunyi. Mendengarkan keherananku
sendiri. Lalu tak tahan lagi maka aku usik sunyi si meragu, “Kenapa kau tak
lagi bertanya, hai, meragu?”. Tidak ada jawaban. Lama… aku mulai jengah. “Hai
meragu, mengapa kau tak bertanya lagi? Apakah kau sudah bukan lagi meragu?”.
Terdengar cekikikan melecehkan. Ada sedikit lega. Itu cekikian si meragu.
“Kenapa kau malah cekikikan seperti itu? Kiranya kau kini berubah menjadi si
periang.” Tanyaku. Sunyi… sunyi… sunyi. Sampai akhirnya setelah kesunyian
benar-benar membelenggu, dia menjawab, “Meragu selamanya akan menjadi meragu
selama tetap ada rasa ragu. Aku diam bukan berarti tak meragu. Aku tak bertanya
bukan berarti tak meragu. Aku hanya berubah keraguan.” Congkak sekali ia, pikirku. “Apa maksudmu? Aku tak mengerti.” Aku
mulai muak dengannya.
“Aku hanya meragu, apakah yang kau
cari akan kau temukan? Apakah memang akan kau temukan seorang manusia? Akan kau
cari dimana, hei, bodoh?”.
“Kenapa kau tanyakan seperti itu?”
“Begini, jika memang kau mencari
manusia, pastilah kau sudah kenal dengan manusia. Seperti apa manusia itu.
Kiranya kau bersedia memberitahuku, seperti apa ciri-ciri manusia itu?”
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
(aku diam… diam… bertanya pada
diriku, “apakah aku sudah belajar tentang manusia?”)
Sabtu, 18 Februari 2012
Dongeng: Awan dan Hujan
Pernahkah kamu bertanya teman, mengapa langit
terkadang suka meneteskan butiran-butiran air? Apakah langit sedang menangis?
Atau mungkin kran air si langit sedang bocor?
Aku punya secuil cerita tentangnya…
Alkisah dulu matahari tak sebaik sekarang. Sekarang
kita bisa menikmati kebaikan matahari yang menyinarkan dirinya dengan hangat,
namun dulu jangan harap matahari akan melakukannya. Matahari masih muda dan
suka sekali menyombongkan sinarnya. Dia mengeluarkan seluruh sinar yang
dipunyainya, sehingga udara pun menjadi sangat panas.
Sang laut dan danau yang terkena sinar matahari ini
kemudian merasakan gerah yang teramat sangat dan akhirnya mengeluarkan
keringat. Untuk menghilangkan rasa gerahnya, danau dan laut mulai mengipasi
diri mereka. Laut dan danau mengipasi diri mereka dengan kencang. Hmmm..
bayangkan saja laut dan danau yang sebegitu besarnya mengipasi diri mereka,
sudah pasti banyak air yang terciprat kemana-kemana. Cipratan air ini kemudian
menjadi butiran-butiran kecil dan sampai di langit, tempat awan bergelantungan.
Awan yang juga kepanasan akibat sinar matahari merasa senang melihat cipratan
air dari laut dan danau. Air itu membuat tubuhnya dingin.
Tapi cipratan air ini terus-terusan, sang awan pun keberatan
menampung air. Awan menjadi sedih karena tubuhnya merasa keberatan. Sangking
sedihnya, warna awan yang semula putih berubah menjadi kelabu. Awan kelabu ini
kemudian mendapat julukan dari teman-temannya sebagai mendung. Sang mendung
kemudian melakukan perjalanan. Mendung berpikir mungkin dengan melakukan
perjalanan dia bisa mengurangi air yang menempel padanya. Mendung terus
berjalan sampai jauh mencari tempat yang kering untuk membuang airnya.
Namun di tengah perjalanan sang mendung merasa
kelelahan. Dia pun berhenti. Tiba-tiba dia mendengar suara dari bawah. “Tolong
beri saya air, saya haus. Dan saya ingin air”. Ada seorang manusia yang tengah
kehausan di bawah sana. Karena pada dasarnya mendung adalah awan putih yang
baik hati, maka dia kemudian memeras air yang menempel pada tubuhnya. Air itu
jatuh ke bawah berupa rintikan-rintikan. Sang manusia merasa senang dan menamai
rintikan air itu sebagai hujan. Mendung pun merasa senang. Dia tidak lagi
merasa keberatan dengan air yang dibawanya, dia pun kembali berwarna putih
ceria.
Rintikan-rintikan air itu sampai sekarang masih dapat
kita nikmati. Karena sang awan terkadang masih suka menjadi mendung. Hal ini
karena matahari suka tiba-tiba jail dengan mengeluarkan sinarnya dengan
terlalu…
Sebuah cerita oleh Irwan Nurdianto
Editing by Arie Rahma
Jumat, 10 Februari 2012
Kerendahan Hati
Kalau engkau
tak mampu menjadi beringin
yang tegak di
puncak bukit
Jadilah
belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di
tepi danau
Kalau kamu tak
sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja
rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul
pinggiran jalan
Kalau engkau
tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja
jalan kecil,
Tetapi jalan
setapak yang
Membawa orang
ke mata air
Tidaklah semua
menjadi kapten
tentu harus
ada awak kapalnya….
Bukan besar
kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya
nilai dirimu
Jadilah saja
dirimu….
Sebaik-baiknya
dari dirimu sendiri
-Taufik
Ismail-
Minggu, 27 November 2011
Jiwa VS Tubuh
Ibuku pernah bilang sukuri apa saja yang telah Allah anugerahkan untukmu. Tapi akankah aku bisa mensukuri ini, yang bahkan anugerah atau musibah pun aku tidak tahu. Aku merasa terperangkap dalam raga yang salah. Jiwaku tersesat dalam tubuh ini. Dia berusaha mencari jalan untuk pulang, tapi ternyata satu-satunya rumah yang dia miliki adalah tubuh ini.
Berdasarkan raga yang kupunya, aku terlabel dengan sempurna sebagai seorang laki-laki. Aku sadar raga yang kupunya nyaris sempurna, aku dengan ciri-ciri fisikku tergolong sebagai keturunan Adam yang tampan rupa. Dan seharusnya aku bangga dengan ini semua.
Hmmm... apalah daya, jiwaku sama sekali tak terima. Memaksa keluar atau jika perlu raga harus takluk padanya. Aku harus membela siapa dalam perkelahian ini? Tak bisakah mereka menyatu? Akur dan saling melengkapi satu sama lain. Aku iri melihat sekelilingku. Raga dan jiwa mereka bahu membahu saling menyesuaikan, berusaha selaraskan apa yang ada sebagai anugerah Tuhan.
Lalu di sebelah mana aku harus bersukur akan ini semua? Bahkan Allah pun sepertinya sedang mengajak aku bercanda. Senang dengan arena pergulatan antara tubuh dan jiwaku. Menikmati sisi kekonyolanku karena hanya bisa termangu.
Sisi lain dari nurani berkata, “Ikutilah jiwamu”. Di situlah esensi dari dirimu. Tak mengapalah ragamu tak mau akur dengan jiwamu, asal dia masih mau memberi tempat buat jiwamu, diamlah. Sebentar lagi ragamu yang akan mengikuti jiwamu, karena jiwamu lebih berkuasa akan sesuatu. Tetaplah bersama dengan jiwamu, karena dialah sang pemberontak dalam pergulatan ini. Sang raga hanya musuh tak berdaya. Dia tak akan melakukan pemberontakan yang berbahaya.
Maka aku pun memutuskan memaksa sang raga menyerah. Bibir mulai kupoles gincu, rambut panjang tergerai di bahu, kaos ketat hiasi dada datarku, oh aku memimpikan mempunyai payudara di area ini, tapi tak apalah...aku pun mulai mengenakan rok bunga merah jambu untuk menambah anggun pesonaku. Aku sang manusia baru akan keluar sembari tersenyum penuh haru. Merasa puas akan pemaknaan hidupku yang baru.
Tapi entah mengapa pertanyaan tak jua kunjung menyerah menyerang rasa amanku. Benarkah senyumku ini senyum haru puas akan pemaknaan hidup baru? Atau jangan-jangan ini adalah senyum kelu dari sisi lain nuraniku? Apakah memang esensi hidup terletak pada jiwaku? Lalu mau dikemanakan ragaku? Ditaklukan dan dibuat tak layak dihadapan sang Jiwa? Apakah benar dengan begini ke-aku-anku tak akan dipertanyakan? Apakah memang benar aku akan menjadi aku dengan memenangkan secara sepihak aktor dalam pergulatan jiwa vs tubuh?
(Malang, 24 Mei 2010)
Berdasarkan raga yang kupunya, aku terlabel dengan sempurna sebagai seorang laki-laki. Aku sadar raga yang kupunya nyaris sempurna, aku dengan ciri-ciri fisikku tergolong sebagai keturunan Adam yang tampan rupa. Dan seharusnya aku bangga dengan ini semua.
Hmmm... apalah daya, jiwaku sama sekali tak terima. Memaksa keluar atau jika perlu raga harus takluk padanya. Aku harus membela siapa dalam perkelahian ini? Tak bisakah mereka menyatu? Akur dan saling melengkapi satu sama lain. Aku iri melihat sekelilingku. Raga dan jiwa mereka bahu membahu saling menyesuaikan, berusaha selaraskan apa yang ada sebagai anugerah Tuhan.
Lalu di sebelah mana aku harus bersukur akan ini semua? Bahkan Allah pun sepertinya sedang mengajak aku bercanda. Senang dengan arena pergulatan antara tubuh dan jiwaku. Menikmati sisi kekonyolanku karena hanya bisa termangu.
Sisi lain dari nurani berkata, “Ikutilah jiwamu”. Di situlah esensi dari dirimu. Tak mengapalah ragamu tak mau akur dengan jiwamu, asal dia masih mau memberi tempat buat jiwamu, diamlah. Sebentar lagi ragamu yang akan mengikuti jiwamu, karena jiwamu lebih berkuasa akan sesuatu. Tetaplah bersama dengan jiwamu, karena dialah sang pemberontak dalam pergulatan ini. Sang raga hanya musuh tak berdaya. Dia tak akan melakukan pemberontakan yang berbahaya.
Maka aku pun memutuskan memaksa sang raga menyerah. Bibir mulai kupoles gincu, rambut panjang tergerai di bahu, kaos ketat hiasi dada datarku, oh aku memimpikan mempunyai payudara di area ini, tapi tak apalah...aku pun mulai mengenakan rok bunga merah jambu untuk menambah anggun pesonaku. Aku sang manusia baru akan keluar sembari tersenyum penuh haru. Merasa puas akan pemaknaan hidupku yang baru.
Tapi entah mengapa pertanyaan tak jua kunjung menyerah menyerang rasa amanku. Benarkah senyumku ini senyum haru puas akan pemaknaan hidup baru? Atau jangan-jangan ini adalah senyum kelu dari sisi lain nuraniku? Apakah memang esensi hidup terletak pada jiwaku? Lalu mau dikemanakan ragaku? Ditaklukan dan dibuat tak layak dihadapan sang Jiwa? Apakah benar dengan begini ke-aku-anku tak akan dipertanyakan? Apakah memang benar aku akan menjadi aku dengan memenangkan secara sepihak aktor dalam pergulatan jiwa vs tubuh?
(Malang, 24 Mei 2010)
Gelandangan's mind
Orang-orang berlalu lalang di depanku. Tidak ada yang memperhatikanku, hanya sesekali melirik. Pandangan penuh tanda tanya seperti itu, sudah biasa untukku. Mereka dengan ukuran-ukuran yang mereka buat, menggolongkanku dalam hal yang "luar biasa". Seorang gembel yang tak tahu diuntung.
Penampilanku mengobok-obok penglihatan mereka. Kumuh! Lusuh! dan bau debu! O rupanya penciuman juga terjamah. Begitu hebatnya aku.
Aku berbeda dari mereka. Aku tidak terikat dengan aturan-aturan baku mereka tentang penampilan.Lihatlah mereka semua. Sama! Tubuhnya dirusuhi oleh 'merek-merek' bikinan mereka. Baju mereka sama, alas mereka sama, rambut mereka sama, bau dan gaya yang dianut sama.
Hah... kenapa harus mereka yang menganggapku "luar biasa" ?
Hmmm... tidak, tidak... aku memang "luar biasa". Aku merdeka, tidak terjajah seperti mereka. Aku dengan ke-aku-anku dan mereka dengan seperti kebanyakan mereka. Orang aneh dengan komplotannya.
Malang, Mei 2009 at TI class (Boring)
Malang, Mei 2009 at TI class (Boring)
Langganan:
Postingan (Atom)